Seiring dengan reformasi yang di pelopori oleh mahasiswa di tahun 1998, mengakibatkan tumbangnya kekuasaan maharaja orde baru.
Dampak perubahan ini menimbulkan terbentuknya "raja-raja" kecil baru di daerah dengan selimut otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung. PNS yang dulunya dibawah GOLKAR sekarang terkotak-kotak sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing.
Walaupun peraturan melarang pegawai negeri untuk berpolitik langsung, namun pada prakteknya dilapangan hal ini tidak bisa diwujudkan, banyak PNS menjadi Tim Sukses Kepala daerah.
Hal ini sangat terlihat sekali dalam pemilihan kepala daerah langsung. Mereka seakan-akan memainkan judi yang mengharapkan keuntungan dan kemenangan. Kemenangan ditandai dengan terpilihnya jagoan mereka menjadi kepala daerah.
Jika menang tentunya akan mendapatkan Posisi dan Jabatan basah dan kalau kalah tentunya siap-siap untuk dimutasi.
Otonomi dan Pemilihan langsung tak ubahnya suatu proses pembentukan dan pelegalan kerajaan baru. Dengan kepala daerah dan wakilnya sebagai raja dan perdana menteri, keluarganya sebagai pangeran, partai pengusung sebagai kaum bangsawan serta Sekda sebagai panglima perangnya.
Walupun Sekda sebagai PNS dan tidak terpengaruh dengan politik, tapi perlu diingat sekda ini dipilih oleh Kepala daerah. Yang tentunya akan menempatkan orang kepercayaannya.
Tahun pertama setelah pelantikan kepala daerah adalah tahun terberat untuk PNS yang mengerjakan proyek. Mereka dituntut untuk bekerja dengan baik dan hasil yang maksimal, tapi dilain pihak pekerjaan proyek dilakukan oleh kontraktor pengusung kepala daerah yang tentunya merupaya mengembalikan modal mereka.
Para kontraktor ini bertujuan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan kerja sekecil-kecilnya. Tak jarang juga mereka banyak yang belum pernah mengerjakan proyek atau muka-muka baru.
Jangan heran kalau kita menemukan tukang daging, tukan kain atau pengusaha toko menjadi kontraktor, hanya karena mereka masuk dalam kategori Bangsawan.
Pergeseran dan mutasi jabatan dengan alasan penyegaran sangat lumrah terjadi, walaupun kadangkala pejabat yang ditunjuk tidak sesuai dengan bidangnya, contohnya bidang teknik dijabat oleh orang yang tidak mengerti masalah teknik.
Dulunya guru sekarang menjadi Kabid di PU atau dulunya dikantor agama (tamatan IAIN) sekarang menjadi kabid di Pertanian, atau dulunya dikantor DIKBUD sekarang mendapat jabatan di kantor KESEHATAN .
Sementara orang-orang yang mengerti tentang itu di campakkan dikecamatan atau dikelurahan.
Tentunya hal ini bukan penyegaran tapi merupakan penghancuran sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan bidangnya maka tunggulah kehancurannya.
Thursday, February 8, 2007
Tuesday, February 6, 2007
Polisinya Pegawai
Hari selasa adalah jadwal rutin kami untuk meninjau ke lapangan, sebab hari senin setelah upacara merupakan waktu untuk mengevaluasi kegiatan minggu lalu dan rencana kerja minggu ini.
Sewaktu mempersiapkan dokumen-dokumen yang akan dibawa kelapangan, seorang rekan datang sambil menggerutu, " Sat-Pol PP sialan, Memangnya kita ini kriminal !" katanya.
"masa kita ditangkap dijalan dan digelandang ke Penjara yang bereda di kantor mereka, hanya karena tidak membawa surat izin keluar kantor". "Kita ini kan sama-sama PNS, bukan penjahat, seumur hidup baru sekali ini saya dikerangkeng" sungutnya. " Yang membuat kesal adalah yang menangkap saya adalah pegawai honorer, bukan PNS"
Ternyata rekan saya tadi ditangkap oleh petugas Sat-Pol PP yang sedang razia pegawai. Didaerah saya memang pegawai negeri dilarang keluar kantor pada saat jam dinas, kecuali memiliki alasan yang jelas disertai dengan surat izin dari atasannya.
Resiko bagi yang tertangkap dimasukkan kedalam kerangkeng sampai atasan langsung atau kepala kantor yang bersangkutan membebaskannya di sertai membuat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Memang tugas Satuan ini untuk menegakkan dan mengawasi peraturan daerah yang telah ditetapkan. Resikonya mereka tidak hanya berhadapan dengan para pedangang kakilima, pemilik ruko, sopir angkutan, tukang ojek, wanita malam, warung tepi jalan, pemilik pabrik atau pengemis dijalanan tetapi juga dengan sesama pegawai negeri.
Tak heran mereka mendapat julukan "Pura-pura Polisi" (PP), yang tindaktanduknya melebihi polisi. Terkadang malah melewati wewengan polisi itu sendiri.
Dalam menegakkan disiplin dan peraturan daerah ini, Sat-Pol PP tidak main-main. Mereka dipersiapkan seperti polisi layaknya, bahkan untuk pejabatnya disediakan senjati api.
Yang disayangkan satuan yang dibentuk dengan tujuan yang mulia ini banyak disalah artikan oleh rekan-rekan satpol PP yang ada dilapangan. Banyak kasus yang terjadi akibat tindakan pongah dari mereka. Terutama pegawai honorer yang mereka rekrut, yang umumnya masih muda-muda, emosional dan suka petantang-petenteng.
Beberapa waktu yang lalu di kota saya, ada kejadian Kepala satpol PP menodongkan senjata apinya ke tukang Parkir, hanya gara-gara masalah sepele situkang parkir tersebut menegurnya karena parkir ditempat yang dilarang.
Dilain kesempatan seorang Kepala Bidang di kantor saya juga naik pitam akibat tingkah polah pegawai honorer satpol PP. Dengan tanpa sopan santun pegawai honor tersebut menanyakan surat izin keluar kantornya. Padahal Kabid tersebut baru saja mengikuti acara resmi dengar pendapat dengan DPRD, yang tentunya tidak perlu izin keluar kantor.
Selain digembleng fisiknya hendaknya Satuan ini juga perlu digembleng mental, tingkah laku, serta kedisiplinan mereka agar keberadaannya diterima dimasyarakat untuk melengkapi kekurangan dari aparat kepolisian. Bukan menambah resah masyarakat akibat polah mereka. Seorang pemilik warung pernah mengutarakan kekesalannya diawal tahun baru lalu. Warung bapak tersebut pernah di "rampok" oleh satuan tersebut. Mereka datang dengan alasan mencari minuman keras. Tetapi anehnya setelah tidak ditemui minuman keras mereka minta jatah untuk lebaran dan tahun baru.
Tampaknya disiplin itu untuk orang lain, tidak untuk mereka. Mereka hanya melihat kesalahan orang lain tanpa berkaca dan memandang diri mereka sendiri.
Tadipun sebelum kelapangan seperti biasanya kami mengisi perut dan membeli bekal dikedai nasi langganan kami. Disana tampak duduk tiga orang pegawai wanita berseragam dinas Sat-Pol PP. Iseng-iseng kami bertanya, " Tidak takut di razia mbak ?"
Dengan santai mereka menjawab "Santai aja pak, Tak mungkinlah kami dirazia, walaupun tidak membawa surat izin dari atasan. Mereka kan teman kami".
Nah loh, ternyata betul kan, disiplin itu cuma untuk orang lain...........
Apakah anda ada masalah serupa dengan Sat-Pol PP ?
Sewaktu mempersiapkan dokumen-dokumen yang akan dibawa kelapangan, seorang rekan datang sambil menggerutu, " Sat-Pol PP sialan, Memangnya kita ini kriminal !" katanya.
"masa kita ditangkap dijalan dan digelandang ke Penjara yang bereda di kantor mereka, hanya karena tidak membawa surat izin keluar kantor". "Kita ini kan sama-sama PNS, bukan penjahat, seumur hidup baru sekali ini saya dikerangkeng" sungutnya. " Yang membuat kesal adalah yang menangkap saya adalah pegawai honorer, bukan PNS"
Ternyata rekan saya tadi ditangkap oleh petugas Sat-Pol PP yang sedang razia pegawai. Didaerah saya memang pegawai negeri dilarang keluar kantor pada saat jam dinas, kecuali memiliki alasan yang jelas disertai dengan surat izin dari atasannya.
Resiko bagi yang tertangkap dimasukkan kedalam kerangkeng sampai atasan langsung atau kepala kantor yang bersangkutan membebaskannya di sertai membuat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Memang tugas Satuan ini untuk menegakkan dan mengawasi peraturan daerah yang telah ditetapkan. Resikonya mereka tidak hanya berhadapan dengan para pedangang kakilima, pemilik ruko, sopir angkutan, tukang ojek, wanita malam, warung tepi jalan, pemilik pabrik atau pengemis dijalanan tetapi juga dengan sesama pegawai negeri.
Tak heran mereka mendapat julukan "Pura-pura Polisi" (PP), yang tindaktanduknya melebihi polisi. Terkadang malah melewati wewengan polisi itu sendiri.
Dalam menegakkan disiplin dan peraturan daerah ini, Sat-Pol PP tidak main-main. Mereka dipersiapkan seperti polisi layaknya, bahkan untuk pejabatnya disediakan senjati api.
Yang disayangkan satuan yang dibentuk dengan tujuan yang mulia ini banyak disalah artikan oleh rekan-rekan satpol PP yang ada dilapangan. Banyak kasus yang terjadi akibat tindakan pongah dari mereka. Terutama pegawai honorer yang mereka rekrut, yang umumnya masih muda-muda, emosional dan suka petantang-petenteng.
Beberapa waktu yang lalu di kota saya, ada kejadian Kepala satpol PP menodongkan senjata apinya ke tukang Parkir, hanya gara-gara masalah sepele situkang parkir tersebut menegurnya karena parkir ditempat yang dilarang.
Dilain kesempatan seorang Kepala Bidang di kantor saya juga naik pitam akibat tingkah polah pegawai honorer satpol PP. Dengan tanpa sopan santun pegawai honor tersebut menanyakan surat izin keluar kantornya. Padahal Kabid tersebut baru saja mengikuti acara resmi dengar pendapat dengan DPRD, yang tentunya tidak perlu izin keluar kantor.
Selain digembleng fisiknya hendaknya Satuan ini juga perlu digembleng mental, tingkah laku, serta kedisiplinan mereka agar keberadaannya diterima dimasyarakat untuk melengkapi kekurangan dari aparat kepolisian. Bukan menambah resah masyarakat akibat polah mereka. Seorang pemilik warung pernah mengutarakan kekesalannya diawal tahun baru lalu. Warung bapak tersebut pernah di "rampok" oleh satuan tersebut. Mereka datang dengan alasan mencari minuman keras. Tetapi anehnya setelah tidak ditemui minuman keras mereka minta jatah untuk lebaran dan tahun baru.
Tampaknya disiplin itu untuk orang lain, tidak untuk mereka. Mereka hanya melihat kesalahan orang lain tanpa berkaca dan memandang diri mereka sendiri.
Tadipun sebelum kelapangan seperti biasanya kami mengisi perut dan membeli bekal dikedai nasi langganan kami. Disana tampak duduk tiga orang pegawai wanita berseragam dinas Sat-Pol PP. Iseng-iseng kami bertanya, " Tidak takut di razia mbak ?"
Dengan santai mereka menjawab "Santai aja pak, Tak mungkinlah kami dirazia, walaupun tidak membawa surat izin dari atasan. Mereka kan teman kami".
Nah loh, ternyata betul kan, disiplin itu cuma untuk orang lain...........
Apakah anda ada masalah serupa dengan Sat-Pol PP ?
Monday, February 5, 2007
Disiplin dan upacara bendera
Pagi ini mendung menghiasi langit kotaku. Biasalah dibulan februari ini memang musim hujan. Dengan bergegas kukenakan pakaian "hansip" untuk mengikuti Upacara bendera di lapangan utama di Kotaku.
Dengan cepat kupacu sepeda motorku ke lapangan upacara. Polisi tidur di ujung gang ku lewati dengan cepat, lampu merah di perempatan jalan ku terobos, kuklakson anak sekolah yang akan menyeberang jalan. Semua itu kulakukan agar tidak ketinggalan upacara senin, kegiatan wajib yang menandai kegiatan minggu ini akan dimulai sambil berharap hujan tidak turun.
Sampai di lapangan upacara, sudah banyak rekan-rekan sejawat yang berbaris sesuai dengan dinas dan instansi masing-masing. Kami berbaris rapi mengikuti aba-aba komandan upacara yang mengatur barisan.
Jam tangan menunjukkan tepat 7.15 wib, tanda upacara akan segera dimulai. Di depan kami berbaris rapi pejabat pemerintah, dari kepala dinas, kabag, para asisten dan tak lupa sekda. tak tampak kepala daerah pada hari ini. Seperti biasanya kemungkinan pembina upacara hari ini adalah sekda.
Sementara itu langit semakin hitam disertai dengan tiupan angin yang agak kencang. Tak lama kemudian protokol upacara memberikan pengumuman bahwa hari ini upacara tidak dilaksanakan dan peserta upacara dibubarkan. Tentu saja pengumuman ini disambut dengan gumaman dari pegawai bahkan ada yang bertepuk tangan sambil berkata " Asyik oi ".
Ingatanku terbayang apel pagi jum'at kemaren. Apel pagi wajib dilaksanakan di setiap kantor pemerintahan dikotaku tepat jam 7.00 pagi. Pada hari itu hujan gerimis dimulai sejak subuh sehingga membuat aku agak malas mengikuti apel pagi. Maklumlah kekantor aku mengendarai sepeda motor, jadi pasti kehujanan dijalan. Tapi naas bagiku, pada hari itu Asisten I mengadakan inspeksi mendadak ke kantorku. Jadilah kami yang terlambat dan tidak mengikuti apel pagi mendapat sarapan ceramah dari Asisten I.
Dengan lantang dan keras beliau berkata bahwa setiap pegawai itu wajib apel pagi tanpa terkecuali dan tanpa alasan apapun. Walaupun hujan tetap bisa apel di dalam aula. Beliau tidak menerima alasan hujan yang kami gunakan. Kedisiplinan harus ditegakkan dan dijadikan kebiasaan katanya dengan keras.
Kami hanya mengerutu dalam hati, coba saja beliau menggunakan sepedamotor seperti kami tentunya beliaupun merasa kedinginan. Atau kami menggunakan mobil seperti dia, tentunya kamipun tidak terlambat.
Seperti upacara hari ini, hanya karena mau hujan saja upacara dibatalkan, padahal hujan turun tiga jam setelah itu. Cuma gara-gara bapak-bapak pejabat didepan kami takut kebasahan termasuk Asisten I yang berbicara disiplin kemaren.
Disiplinpun ikut luntur bersama hujan dan angin kencang.
Memang disiplin dan hukum itu untuk orang kecil bukan untuk orang besar seperti mereka. Bagaimana bisa mereka berbicara disiplin sedangkan mereka sendiri memberi contoh tidak benar. Bukankah pemimpin itu harus berbuat sesuai dengan perkataannya ?
Ah sudahlah, memang hukum dan disiplin itu untuk kami pegawai rendahan...........
Dengan cepat kupacu sepeda motorku ke lapangan upacara. Polisi tidur di ujung gang ku lewati dengan cepat, lampu merah di perempatan jalan ku terobos, kuklakson anak sekolah yang akan menyeberang jalan. Semua itu kulakukan agar tidak ketinggalan upacara senin, kegiatan wajib yang menandai kegiatan minggu ini akan dimulai sambil berharap hujan tidak turun.
Sampai di lapangan upacara, sudah banyak rekan-rekan sejawat yang berbaris sesuai dengan dinas dan instansi masing-masing. Kami berbaris rapi mengikuti aba-aba komandan upacara yang mengatur barisan.
Jam tangan menunjukkan tepat 7.15 wib, tanda upacara akan segera dimulai. Di depan kami berbaris rapi pejabat pemerintah, dari kepala dinas, kabag, para asisten dan tak lupa sekda. tak tampak kepala daerah pada hari ini. Seperti biasanya kemungkinan pembina upacara hari ini adalah sekda.
Sementara itu langit semakin hitam disertai dengan tiupan angin yang agak kencang. Tak lama kemudian protokol upacara memberikan pengumuman bahwa hari ini upacara tidak dilaksanakan dan peserta upacara dibubarkan. Tentu saja pengumuman ini disambut dengan gumaman dari pegawai bahkan ada yang bertepuk tangan sambil berkata " Asyik oi ".
Ingatanku terbayang apel pagi jum'at kemaren. Apel pagi wajib dilaksanakan di setiap kantor pemerintahan dikotaku tepat jam 7.00 pagi. Pada hari itu hujan gerimis dimulai sejak subuh sehingga membuat aku agak malas mengikuti apel pagi. Maklumlah kekantor aku mengendarai sepeda motor, jadi pasti kehujanan dijalan. Tapi naas bagiku, pada hari itu Asisten I mengadakan inspeksi mendadak ke kantorku. Jadilah kami yang terlambat dan tidak mengikuti apel pagi mendapat sarapan ceramah dari Asisten I.
Dengan lantang dan keras beliau berkata bahwa setiap pegawai itu wajib apel pagi tanpa terkecuali dan tanpa alasan apapun. Walaupun hujan tetap bisa apel di dalam aula. Beliau tidak menerima alasan hujan yang kami gunakan. Kedisiplinan harus ditegakkan dan dijadikan kebiasaan katanya dengan keras.
Kami hanya mengerutu dalam hati, coba saja beliau menggunakan sepedamotor seperti kami tentunya beliaupun merasa kedinginan. Atau kami menggunakan mobil seperti dia, tentunya kamipun tidak terlambat.
Seperti upacara hari ini, hanya karena mau hujan saja upacara dibatalkan, padahal hujan turun tiga jam setelah itu. Cuma gara-gara bapak-bapak pejabat didepan kami takut kebasahan termasuk Asisten I yang berbicara disiplin kemaren.
Disiplinpun ikut luntur bersama hujan dan angin kencang.
Memang disiplin dan hukum itu untuk orang kecil bukan untuk orang besar seperti mereka. Bagaimana bisa mereka berbicara disiplin sedangkan mereka sendiri memberi contoh tidak benar. Bukankah pemimpin itu harus berbuat sesuai dengan perkataannya ?
Ah sudahlah, memang hukum dan disiplin itu untuk kami pegawai rendahan...........
Saturday, February 3, 2007
KENAPA BEDA ?
Pada suatu kesempatan, saya bertemu teman lama di SMA yang sekarang bekerja di BUMN yang bergerak di bidang hasil perut bumi. Setelah bertukar kabarberita sampailah kami pada permasalahan gaji masing-masing.
Dia mengatakan penghasilan yang didapatnya lebih dari cukup untuk hidup sekeluarga yaitu 4 juta perbulan ditambah berbagai fasilitas penunjang lainnya. Dan sekarang dia dipromosikan untuk menduduki sebuah jabatan dengan penghasilan 6 juta.
Sebuah angka yang luar biasa bagi kami yang tinggal di pedalaman Sumatera. Apalagi untuk ukuran saya yang cuma pegawai negeri biasa di daerah ( Pegawai PEMDA).
Dengan gaji 4 juta ditambah dengan bonus tahunan, tunjangan ini, tunjangan itu, sisa hasil tahun ini, sisa hasil tahun lalu, keuntungan perusahaan tahun ini, dan lain sebagainya tentunya membuat hidupnya mapan secara ekonomi.
Hal senada juga pernah saya bandingkan denghan teman saya dari Perum Jasa Tirra (PJT) yang jugabergaji hampir 4 juta perbulan. Bayangkan dengan Pegawai Pemda, dengan strata sekolah lulusan s1 dengan satu orang istri pendapatan yang dibawa kerumah cuma berkisar 1 juta (seperempat dari teman saya). Kalau teman saya gajinya ditambah dengan pendapatan lain, tapi gaji pegawai pemda dikurangi dengan potongan ini, potongan itu, kredit untuk ini, kredit untuk itu, iuran untuk ini dan iuran untuk itu.
Mengapa dengan status sama-sama pegawai negara, abdi negara dan pelayan masyarakat, gaji yang kami terima berbeda ? bukankah "perusahaan " tempat mereka bekerja juga punya negara bukan punya nenek moyangnya ? yang notabene duitnya juga dari rakyat ?
Dengan jam kerja yang sama tingkat pendidikan yang sama dan di negara yang sama kok bisa berbeda.
Mungkin karena kantor mereka mengahasilkan duit untuk negara dan kantor kami di Pemda cuma menghabiskan duit negara. Tampaknya para pejabat pemda harus kreatif untuk meminta imbalan jasa dari rakyat untuk semua pembangunan yang telah dibuatnya.
Mungkin Pemda harus menarik uang dari setiap orang yang menggunakan jalan,
atau meminta uang dari setiap pengguna saluran irigasi yang dibangunnya,
atau meminta uang untuk setiap orang yang menggunakan gedung sekolah
atau meminta uang untuk setiap orang yang menggunakan fasilitas umum yang dibangun.
atau status Pemda juga diubah menjadi BUMN.
Mungkin dengan cara-cara diatas baru gaji kami dapat setara dengan para pegawai BUMN, atau anda punya saran lain selain korupsi dan pungli ?
Thursday, February 1, 2007
Pelayan Masyarakat
Pegawai Negeri Sipil atau yang dikenal dengan PNS merupakan ujung tombak pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain berhasil tidaknya pembangunan oleh pemerintah tergantung dengan PNS dilapangan.
Bagaimanapun bagusnya program yang dibuat oleh pemerintah, apabila tidak laksanakan dengan baik oleh PNS dilapangan maka akan percuma. PNS dituntut untuk dapat melaksanakan program-program pembangunan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dengan baik dan sempurna.
Dilain sisi lain kegagalan program yang telah ditetapkan Pemerintah akibat perencanaan yang tidak matang maupun sasaran yang tidak jelas, mutlak menjadi kesalahan PNS dilapangan, yang dianggap tidak becus atau tidak mampu melaksanakan tugas. Tak jarang juga di ikuti dengan mutasi jabatan ataupun sanksi lainnya dari atasan.
Dengan gaji yang pas-pasan PNS diharuskan menjadi seorang malaikat yang suci dan bersih tanpa pernah berbuat salah. PNS harus menjadi panutan dan abdi masyarakat yang prima. Pokoknya PNS merupakan malaikat yang berwujud manusia.
Tak banyak yang sadar bahwa PNS juga rakyat kecil, yang butuh kesejahteraan. Kami juga punya keluarga yang harus disantuni, punya anak yang mesti di beri pendidikan yang baik. Kami juga ingin hidup layak tanpa himpitan hutang dan pinjaman. Kami juga punya hati nurani......
Bagaimanapun bagusnya program yang dibuat oleh pemerintah, apabila tidak laksanakan dengan baik oleh PNS dilapangan maka akan percuma. PNS dituntut untuk dapat melaksanakan program-program pembangunan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dengan baik dan sempurna.
Dilain sisi lain kegagalan program yang telah ditetapkan Pemerintah akibat perencanaan yang tidak matang maupun sasaran yang tidak jelas, mutlak menjadi kesalahan PNS dilapangan, yang dianggap tidak becus atau tidak mampu melaksanakan tugas. Tak jarang juga di ikuti dengan mutasi jabatan ataupun sanksi lainnya dari atasan.
Dengan gaji yang pas-pasan PNS diharuskan menjadi seorang malaikat yang suci dan bersih tanpa pernah berbuat salah. PNS harus menjadi panutan dan abdi masyarakat yang prima. Pokoknya PNS merupakan malaikat yang berwujud manusia.
Tak banyak yang sadar bahwa PNS juga rakyat kecil, yang butuh kesejahteraan. Kami juga punya keluarga yang harus disantuni, punya anak yang mesti di beri pendidikan yang baik. Kami juga ingin hidup layak tanpa himpitan hutang dan pinjaman. Kami juga punya hati nurani......
Subscribe to:
Posts (Atom)